Masa Depan Desa Lewoingu
Oleh Rafael Raga Maran
Seperti apa masa depan suatu desa yang dikepalai oleh seorang tersangka pembunuh berdarah dingin? Jawabannya mudah ditebak. Masa depannya suram bahkan gelap. Masa depan suram bahkan gelap itu kini sedang membayang-bayangi desa Lewoingu di Flores Timur. Ini bukan kata-kata yang pesimistis, melainkan kata-kata yang sesuai dengan situasi-situasi buruk yang terus menerus terjadi di desa itu, sejak Mikhael Torangama Kelen menduduki kursi kepala desa pada tahun 2000.
Prestasi terbesar yang diraihnya dalam periode pertama pemerintahannya ialah pengrusakan tatanan adat yang disponsorinya pada tahun 2006. Kemudian dalam statusnya sebagai kepala desa terpilih untuk periode 2007-2013, dia dan anggota-anggota komplotannya melakukan pembunuhan atas seorang warga yang tidak bersalah. Dampak dari kedua kejadian itu ialah perpecahan sosial budaya yang sangat serius di desa itu. Terjadi permusuhan antara dua kubu masyarakat, yaitu permusuhan antara kubu timur (kelompok yang pro kepada komplotan penjahat pimpinan Mikhael Torangama Kelen) dan kubu barat yang terdiri dari berbagai komponen masyarakat beradab.
Kedua kejadian tersebut dengan akibat-akibat buruknya itu tidak memiliki preseden dalam sejarah desa itu. Dalam era orde baru yang terkenal otoriter pun, kita tidak menemukan adanya kepala desa Lewoingu yang memerintah secara arogan. Model pemerintahan yang dikembangkan oleh Mikhael Torangama Kelen hanya memiliki padanannya dalam sejarah rezim yang lalim atau despotis, yang menghalalkan korupsi dan kejahatan berupa pembunuhan lawan politik sebagai cara untuk melanggengkan kekuasaannya. Memang cukup mengherankan, bahwa praktek demokrasi modern di desa itu bisa melahirkan seorang kepala desa yang merusak tatanan sosial budaya di desa yang dipimpinnya, dan yang menjadi pelaku pembunuhan atas warga desanya. Lebih mengherankan lagi, orang yang secara jelas ditetapkan sebagai tersangka pelaku pembunuhan termaksud malah direstui untuk menduduki kursi kepala desa Lewoingu.
Kalau kita menoleh sejenak ke masa lalu, kita akan menemukan kenyataan bahwa pada tahun 2000, mayoritas masyarakat Eputobi tidak memberikan mandat kepada Mikhael Torangama Kelen menjadi kepala desa Lewoingu. Para pemilih dari Riang Duli yang memenangkan Mikhael Torangama Kelen pada waktu itu. Tetapi bukan karena faktor Mikhael Torangama Kelen yang menyebabkan para pemilih dari Riang Duli menjatuhkan pilihannya padanya, tetapi karena faktor Sis Tukan yang pada tahun itu dicalonkan sebagai Sekretaris Desa Lewoingu. Faktor Sis Tukan itu pula yang membuat sebagian pemilih dari kampung Eputobi pun memberikan suaranya kepada Mikhael Torangama Kelen.
Pada tahun 2000 itu mayoritas pemilih dari kampung Eputobi pada dasarnya masih menghendaki agar Pius Keluang Koten maju sekali lagi sebagai calon kepala desa untuk periode 2000-2006. Jika mantan kepala desa Lewoingu itu mau mencalonkan diri, mayoritas pemilih dari kampung Eputobi akan memberikan suara mereka kepadanya. Tetapi berdasarkan pertimbangan demokratis dan karena keinginannya untuk memberikan kesempatan kepada orang-orang lain untuk mencalonkan diri, Pius Keluang Koten tidak mau mencalonkan diri sebagai kepala desa Lewoingu.
Kemenangan Mikhael Torangama Kelen pada tahun 2000 itu disambut dengan antusiasme yang rendah di kampung Eputobi. Meskipun demikian, demi demokrasi, legitimasinya tidak dipersoalkan. Demi demokrasi itu pula, sebagian masyarakat Eputobi pun berusaha melupakan rekam jejaknya yang buruk dalam sejarah hidupnya di kampung Eputobi. Pada waktu itu, mereka sempat berharap, dengan menjadi kepala desa akan terjadi perubahan perilaku dan kinerja pemeritahan demi kebaikan segenap lapisan masyarakat desa Lewoingu. Tetapi di dalam kenyataan, pemerintahannya berjalan semau gue. Korupsi, kolusi, dan nepotisme dikembangbiakkan sedemikian rupa sehingga cukup berhasil dalam menjungkirbalikkan tatanan nilai yang ada. Upaya merusak tatanan adat istiadat digenjot sehingga menimbulkan persoalan serius. Dan pembunuhan terhadap lawan politik dihalalkan sebagai metode untuk melanggengkan kekuasaan politiknya.
Program pemekaran desa Lewoingu melahirkan desa Dung Tana-Lewoingu. Melalui program itu, Riang Duli dan Riang Kung berpisah dari desa Lewoingu. Desa Lewoingu hanya mencakup kampung Eputobi. Dengan demikian sebenarnya mulai timbul persoalan legitimasi kekuasaan politik kepala desa Lewoingu itu. Dengan lahirnya desa Dung Tana-Lewoingu, dia harus menghadapi kenyataan baru, bahwa dia memerintah di desa yang mayoritas warganya tidak memilihnya pada tahun 2000. Dengan kata lain, kelahiran desa Dung Tana-Lewoingu menimbulkan krisis legitimasi politik bagi kepala desa Lewoingu. Krisis itu diperparah oleh sepak terjangnya yang sangat buruk selama dia menduduki kursi kepala desa Lewoingu. Atas segala macam keburukan yang dipertontonkannya selama itu, timbul gelombang kritik dari berbagai komponen oposisi melalui koridor-koridor politik demokratis yang resmi berlaku.
Gelombang kritik demokratis itu menimbulkan kekhawatiran bahkan ketakutan di kubu pemerintah desa Lewoingu pada waktu itu. Mereka khawatir dan takut kalau Mikhael Torangama Kelen gagal terpilih sebagai kepala desa Lewoingu untuk periodenya yang kedua. Bagi para pendukungnya, kegagalan tersebut akan menyebabkan berhentinya pasokan "gizi" ke rumah mereka masing-masing. Soalnya selama itu sudah terbangun suatu jaringan KKN yang sangat baik di kalangan mereka. Jaringan KKN itu kemudian difungsikan sebagai mesin peraup suara di musim pilkades tahun 2007. Guna memperoleh suara mayoritas, segala macam cara dihalalkan. Maka tak mengherankan bila hasil pilkades itu pun diprotes oleh kubu oposisi.
Meskipun memiliki dasar yang kuat, protes dari kubu oposisi itu hanya berhasil menunda pelantikannya sebagai kepala desa Lewoingu untuk periodenya yang kedua. Pada hari Rabu, 16 Januari 2008, pemenang pilkades 27 Maret 2007 itu dilantik secara bersyarat menjadi kepala desa Lewoingu untuk periode 2007-2013. Padahal pada Senin malam, 30 Juli 2007, dalam statusnya sebagai kepala desa terpilih, dia memimpin aksi pembunuhan terhadap seorang warga desa Lewoingu bernama Yoakim Gresituli Ata Maran. Pembunuhan itu berencana dan bermotifkan politik. Karena aksi kriminalnya itu, dia bersama tiga anggota komplotannya ditangkap pada hari Jumat, 18 April 2008. Dia kemudian diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai kepala desa Lewoingu.
Karena berkas perkara pembunuhan tersebut belum mencapai status P21, dia dan anggota-anggota komplotannya itu dikeluarkan dari sel Polres Flores Timur, dengan status tetap sebagai tersangka. Pada 23 Januari 2009, dia diaktifkan kembali sebagai kepala desa Lewoingu. Salah satu alasan yang digunakan Bupati Flores Timur untuk mengaktifkan kembali Mikhael Torangama Kelen sebagai kepala desa Lewoingu ialah demi kepentingan orang banyak. Tetapi di dalam kenyataan, si tersangka itu bekerja bukan demi kepentingan orang banyak. Dia bekerja demi kepentingan pribadi dan demi kepentingan komplotannya.
Di dalam kenyataan, dia tetap saja bersikap arogan dan menjadi sumber berbagai keresahan sosial di kampung Eputobi. Model pemerintahannya tetap didasarkan pada niat jahatnya terhadap pihak lawan=lawan politiknya. Kasus kerasukan yang berbuntut pada terseretnya sejumlah orang dalam proses penyidikan di Polres Flores Timur pun tidak terlepas dari upayanya untuk menghindari diri dari tanggung jawab hukum. Posisinya sebagai kepala desa digunakannya pula untuk mengkambingkan orang-orang lain sebagai pembunuh Yoakim Gresituli Ata Maran. Dengan demikian, dia pun memperdalam dan memperparah kerusakan-kerusakan sosial budaya yang sudah ditimbulkannya selama ini.
Kiranya jelas, bahwa desa yang dipimpin oleh seorang kepala komplotan penjahat tidak akan memiliki masa depan cerah. Desa Lewoingu akan tinggal menjadi ceritera di atas kertas, bila kepala komplotan penjahat itu terus bercokol di kursi kepala desa.
Harapan akan terwujudnya masa depan cerah bagi desa Lewoingu kini tergantung pada proses hukum atas kasus pembunuhan tersebut dan kemauan masyarakat Eputobi untuk berpartisipasi dalam upaya pemberantasan kejahatan tersebut. Proses hukum yang efektif diharapkan menjadi obat yang manjur untuk memberantas kejahatan tersebut hingga ke akar-akarnya. Kemauan masyarakat Eputobi untuk berpartisipasi dalam upaya pemberantasan kejahatan tersebut dapat menjadi jaminan bagi terwujudnya tertib sosial baru di kampung tersebut. Penataan ulang kehidupan masyarakat adat dan tata pemerintahan desa Lewoingu menjadi syarat utama bagi pembangunan masa depan yang cerah bagi desa Lewoingu. Dan itu hanya mungkin dilakukan bila dalam masyarakat yang bersangkutan terjamin tertib sosial.
Dari sudut politik, pemerintahan Mikhael Torangama Kelen yang bobrok, yang menjadi sumber terjadinya kerusakan-kerusakan sosial budaya dan kejahatan harus segera diganti. ***
Hubungan Suku Lamatukan
dengan Suku Ata Maran, Doweng One'eng, dan Lewolein
Sangat Baik
Oleh Rafael Raga Maran
Tak bisa disangkali bahwa sejak meletusnya kasus pelanggaran adat pada hari Senin, 10 April 2006 di TK Demon Tawa, Eputobi, Flores Timur timbul pertentangan sosial di sana. Dimotori oleh kepalanya, hampir semua anggota suku Kumanireng Blikopukeng menentang sekaligus menantang suku Ata Maran, Lewolein, dan Doweng One'eng. Pelanggaran adat pada hari itu didukung oleh oknum-oknum tertentu dari suku-suku lain. Oknum-oknum tertentu dari suku Lamatukan, yang mendukung pelanggaran adat tersebut ialah Geroda Tukan, Maxi Tukan, dan Laurensius Tukan. Dari suku Kelen, Mikhael Torangama Kelen tampil sebagai perestu terjadinya pelanggaran tersebut.
Dari rangkaian kejadian pada hari Jumat, 12 Mei 2006 dan Jumat, 19 Mei 2006 tampak jelas bahwa oknum-oknum tertentu dari suku Kumanireng Blikololong, yaitu Donatus Doni Kumanireng Blikololong dan Lambertus Lagawuyo Kumanireng Blikololong pun menjadi supporter utama pelanggaran adat (10 April 2006) dan penyerobotan batas tanah (19 Mei 2006) di kampung Eputobi-Lewoingu. Di kemudian hari diketahui bahwa adik-adik kandung Donatus Doni Kumanireng pun ikut-ikutan menentang suku Ata Maran, Lewolein, dan Doweng One'eng. Tetapi anggota-anggota lain dari suku Kumanireng Blikololong tidak mendukung aktivitas-aktivitas pembangkangan dan perlawanan terhadap suku Ata Maran, Lewolein, dan Doweng One'eng.
Sedangkan Suku Lamatukan tidak terlibat dalam perkara pelanggaran adat istiadat dan penyerobotan batas tanah. Apa yang dilakukan oleh Geroda Tukan, Maxi Tukan, dan Laurensius Tukan itu tidak sesuai dengan sikap resmi suku Lamatukan. Selama ini Suku Lamatukan tidak menentang Suku Ata Maran, Doweng One'eng, dan Lewolein. Relasi baik suku Lamatukan dengan suku Ata Maran, Doweng One'eng dan Lewolein tetap terawat hingga kini berdasarkan prinsip saling menghormati menurut adat istiadat Lewoingu.
Maka pernyataan Chris Hayong bahwa terjadi pertentangan antar Kabele'eng, di mana suku Lamatukan pun diposisikan sebagai penentang Ata Maran dan Lewolein tidak sesuai dengan kenyataan. Rupanya dia terkecoh oleh posisi Geroda Tukan dan anaknya serta Laurensius Tukan dalam medan konflik di Eputobi. Tetapi Geroda Tukan dan Maxi Tukan, pada dasarnya, sudah berada di luar orbit resmi suku Lamatukan di Lewoingu. Sementara itu seorang Laurensius Tukan itu tidak bisa menjadi representasi dari suku Lamatukan.
Perlu dicatat juga bahwa pada awalnya (2006), tidak terjadi pertentangan antar-Kebele'eng. Yang sesungguhnya terjadi pada waktu itu ialah bahwa sejumlah pengacau mau menjadi Kebele'eng Rayahang (Pemimpin Tertinggi Adat Lewoingu). Mereka ini melawan Ata Maran, Doweng One'eng, dan Lewolein, dengan melakukan pelanggaran adat, yang kemudian disusul dengan penyerobotan batas tanah. Dalam menghadapi tantangan itu, pihak Ata Maran, Doweng One'eng, dan Lewolein berusaha menempuh jalan musyawarah mufakat untuk menyelesaikannya. Tetapi pihak pengacau itu tidak mau menerimanya. Di kantor desa Lewoingu, pada hari Jumat, 12 Mei 2006, mereka secara arogan menghina pihak Ata Maran, Doweng One'eng, dan Lewolein, yang mau menyelesaikan pelanggaran adat melalui jalan dialog.
Meskipun terjadi konflik, pada waktu itu belum terjadi polarisasi yang menghasilkan kubu-kubu politik yang saling bertentangan secara keras. Kehidupan sehari-hari di kampung Eputobi, pada pertengahan tahun 2006 misalnya, masih berlangsung dalam suasana yang lebih rileks ketimbang suasana hidup sehari-hari di tahun 2007 hingga sekarang ini. Sepanjang tahun 2006, sebagian besar warga Eputobi masih mampu untuk saling bertegur sapa secara baik. Permusuhan satu sama lain menajam dan bertambah parah setelah kampung Eputobi dilanda badai politik dan kejahatan kemanusiaan.
Badai Politik
Jika di tahun 2006 terjadi badai pelanggaran adat dan peyerobotan batas tanah, di tahun 2007 terjadi dua badai besar, yaitu badai politik dan badai kejahatan kemanusiaan. Badai pertama mengkondisikan terjadinya badai kedua. Badai kedua mengkondisikan terjadinya badai ketiga. Akibatnya jelas. Terjadi kerusakan sangat parah pada sektor sosial budaya. Pada sektor ini terjadi gerak mundur yang mengarah ke zaman pra Lewoingu, ke zaman tribalisme.
Badai politik mulai berhembus di musim pemlihan kepada desa (pilkades) Lewoingu. Ada beberapa faktor yang mengkondisikan terjadinya badai ini. Tetapi pemicu utamanya ialah terjadinya pilkades yang cacat hukum, juga cacat moral pada hari Selasa, 27 Maret 2007 di kampung Eputobi, desa Lewoingu. Penolakan pihak oposisi terhadap hasil pilkades itu didasarkan pada argumen hukum dan standar etika politik yang dapat dipertanggung jawabkan. Jika ada pihak, yang mengatakan bahwa pilkades Lewoingu berjalan sesuai dengan peraturan hukum, itu karena yang bersangkutan tidak mengetahui PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Selain itu, dia juga tidak tahu tentang isi petunjuk teknis pemilihan kepala desa yang diterbitkan oleh Bupati Kabupaten Flores Timur. Selain itu, dia juga tidak tahu bahwa LPJ kepala desa Lewoingu ditolak oleh BPD Lewoingu. Melihat LPJ-nya itu mengandung kebohongan-kebohongan, BPD pun mengajukan permohonan kepada Bupati Flores Timur agar kepala desa Lewoingu diaudit. Hasil audit sementara yang dilakukan oleh BANWASDA Flores Timur menunjukkan kepada masyarakat Eputobi, bahwa Mikhael Torangama Kelen pernah menyalahgunakan uang desa Lewoingu sebesar Rp 14 juta rupiah. Angka ini akan membengkak, jika proses audit dilanjutkan.
Argumen-argumen bermutu tinggi yang disodorkan oleh kubu oposisi dari Lewoingu meyakinkan Bupati Kabupaten Flores Timur dan Wakilnya, bahwa ada yang tak beres dalam proses pilkades di Lewoingu. Maka Bupati pun mau menunda pelantikan kepala desa terpilih, Mikhael Torangama Kelen. Sebelum tanggal 30 Juli 2007, aparataur desa Lewoingu plus pendukung-pendukung setia mereka mengira bahwa penundaan itu didalangi oleh Akim Maran. Maklum mereka tahu, bahwa Akim Maran itu termasuk fungsionaris DPC PDIP Flores Timur dan selama ini aktif dalam berbagai kegiatan partai, termasuk aktif dalam kegiatan politik formal di tingkat Kabupaten Flores Timur. Padahal yang berwenang menentukan dilantik atau ditundanya atau tidak dilantiknya seorang kepala desa terpilih di daerah Flores Timur bukan Akim Maran dan kawan-kawannya dalam barisan oposisi, melainkan Bupati Kabupaten Flores Timur.
Meskipun tidak pernah menimbulkan kekacauan di kampung Eputobi dan sekitarnya, sejak tahun 2006 label pengacau lewotana sudah dikenakan pada Akim Maran. Label itu mereka perjelas pada tahun 2007 hanya karena dia dan kawan-kawannya memposisikan diri sebagai oposisi. Di dalam kenyataan, kekacauan-kekacauan di Eputobi justru disebabkan oleh Mikhael Torangama Kelen dan gerombolannya itu. Mikhael Torangama Kelen ini pula yang menjadi penyebab keributan antara kampung Eputobi dengan kampung Leworook, dan antara kampung Eputobi dengan kampung Tuakepa. Di masa lalu orang ini juga mengajak beberapa orang Eputobi untuk mengeroyok seorang anggota polisi di Boru. Karena itu dia pun ditangkap, disel, lalu dibui.
Badai Kejahatan Kemanusiaan
Tetapi karena terlanjur mengira bahwa Akim Maran yang mendalangi penundaan pelantikan kepala desa terpilih Lewoingu plus iri hati serta kebencian-kebencian lama yang sudah menumpuk dalam diri mereka, mereka pun berusaha membunuhnya. Dan akhirnya terjadi pula badai kejahatan kemanusiaan itu pada Senin malam 30 Juli 2007. Sebelum tanggal 30 Juli 2007, ancaman pembunuhan terhadap orang yang berbuat macam-macam dikeluarkan oleh Yoakim Tolek Kumanireng, yang sejak 18 April 2008 hingga kini dinyatakan sebagai salah satu tersangka utama oleh tim penyidik Polres Flores Timur. Lantas ancaman pertumpahan darah dikeluarkan oleh Lambertus Lagawuyo Kumanireng. Ancaman-ancaman semacam itu merupakan pantulan dari suatu rencana kriminal yang sudah mereka persiapkan melalui serangkaian rapat gelap yang mereka adakan. Dalam suatu rapat gelap, di mana nama Akim Maran sering disebut sebagai pengacau lewotana (suatu penilaian tanpa bukti apa pun), salah seorang pentolan mereka mengeluarkan kata-kata begini, "Kalau macam-macam, bunuh saja." Di kemudian hari diketahui bahwa komplotan penjahat itu pun berencana membunuh bapak Pius Koten, bapak Dere Hayong, Yose Kehuler, dan Sis Tukan. Mengapa? Karena, empat orang ini pun mereka anggap sebagai penentang keras terpilihnya Mikhael Torangama Kelen menjadi kepala desa Lewoingu untuk periodenya yang kedua.
Tak lama setelah Akim Maran dibunuh, salah satu pentolan dari komplotan kriminal itu bertanya begini, "Akim Maran sudah mati kok kepala desa terpilih belum juga dilantik?" Kata-kata ini mencerminkan hubungan antara penundaan pelantikan kepala desa terpilih dengan pembunuhan Akim Maran pada Senin malam, 30 Juli 2007.
Kejahatan telah mereka pilih sebagai jalan untuk melestarikan kekuasaan politik yang berada dalam genggaman mereka. Kejahatan kemanusiaan inilah yang memperparah perpecahan sosial budaya yang sudah mulai dirintis pada tahun 2006.
Kapan Pecah Konflik Antar-Kebele'eng?
Lantas sejak kapan mulai terjadi pertikaian antar-Kebele'eng di Lewoingu? Benih pertikaian antar-Kebele'eng mulai disemaikan setelah tahun 2001. Dan kasus 10 April 2006 itu merupakan suatu tahap uji coba awal oleh gerombolan pengacau tersebut di atas ke arah penghancuran tatanan adat Lewoingu asli. Mereka bermaksud membangun suatu tatanan adat baru sesuai selera mereka. Untuk itu mereka berusaha keras untuk melawan para pemegang otoritas tertinggi adat Lewoingu. Dalam rangka itu, program brain washing (cuci otak) pun diluncurkan. Program ini dirancang oleh si arsitek dengan tujuan utama memporak-porandakan tatanan adat Lewoingu asli. Dengan cara itu, mereka berharap dapat memenuhi ambisi mereka untuk menjadi penguasa tertinggi adat Lewoingu.
Melalui proses negosiasi politik beberapa tokoh penting dari suku tertentu, yang termasuk Kebele'eng pun akhirnya terseret masuk dalam pengrusakan tatanan adat Lewoingu. Ini dimungkinkan karena sejak awal pemerintah desa Lewoingu mendukung proyek pengrusakan tersebut.
Setelah peristiwa pembunuhan Akim Maran baru diketahui secara jelas, bahwa suku-suku tertentu yang termasuk Kebele'eng, seperti Ama Lubur pun masuk dalam barisan penentang suku Ata Maran, Doweng One'eng, dan Lewolein. Lalu ada sebagian besar anggota suku Wungung Kweng pun ikut bergabung dalam barisan penentang itu. Hanya dua anggota dari suku Wungung Kweng yang pernah mengatakan kepada saya bahwa mereka tidak mau terlibat atau pun melibatkan diri dalam urusan yang mengacaukan kampung halaman sendiri itu. Tetapi orang-orang seperti Laurensius Kweng, Pote Kweng, dan San Kweng, misalnya, sangat bergairah dalam melakukan perlawanan tersebut.
Sementara itu, ada pula oknum-oknum dari suku Kebele'eng Kelen yang berhasil digarap oleh Mikhael Torangama Kelen untuk berhimpun dalam komplotannya. Dari suku Kumanireng Blikololong terdapat oknum-oknum seperti tersebut di atas yang menentang keras Ata Maran, Doweng One'eng, dan Lewolein. Tetapi Kumanireng Blikololong sebagai suku tidak mau melakukan tindakan yang tidak rasional semacam itu.
Setelah kematian Akim Maran, suku-suku tertentu yang termasuk Kebele'eng di Lewoingu itu menggencarkan perlawanan mereka terhadap suku Ata Maran, Doweng One'eng, dan Lewolein. Tak lama setelahkematian Akim Maran, ada di antara anggota mereka yang berteriak-teriak di tengah kampung Eputobi untuk memperkenalkan diri sebagai Kebele'eng. Di hari-hari sesudahnya, unjuk diri sebagai Kebele'eng terus dilakukan secara bergantian di antara mereka.
Menarik bagi kita untuk memperhatikan fenomena, bahwa kesadaran diri sebagai Kebele'eng itu disertai dengan langkah-langkah nyata mereka untuk ikut merusak tatanan adat Lewoingu sejati. Padahal dalam tatanan adat itulah mereka pun berposisi sebagai Kebele'eng.
Di mana Posisi Suku Lamatukan?
Di Lewoingu, Lamatukan termasuk Kebele'eng. Dalam menghadapi segala macam konflik dan pertikaian yang terjadi di Eputobi sejak tahun 2006 hingga sekarang ini, suku Lamatukan mengambil sikap yang jelas. Mereka tidak mau berpihak kepada yang salah, apalagi kepada yang jahat. Suku Lamatukan tidak mau ikut dalam barisan penentang suku Ata Maran, Doweng One'eng, dan Lewolein. Hubungan antara Lamatukan dengan ketiga suku tersebut sangat baik.
Mungkin karena Geroda Tukan dan anaknya Maxi Tukan serta Laurensius Tukan menjadi pendukung setia Mikhael Torangama Kelen, nama suku Lamatukan sering dicatut oleh orang-orang tertentu yang selama ini suka nimbrung meskipun mereka itu tidak tahu betul persoalan yang sedang terjadi di sana. Salah satunya pernah datang ke Eputobi sebagai juru rekonsiliasi. Padahal yang dia jalankan adalah misi penggalangan dukungan agar kepala desa terpilih, waktu itu, dapat dilantik oleh Bupati Kabupaten Flores Timur. Dalam edarannya yang dikirim ke beberapa tokoh masyarakat Eputobi, dia membenarkan seluruh proses pilkades dan hasilnya. Baginya, pilkades Lewoingu pada 27 Maret 2007 itu dilaksanakan secara demokratis. Padahal di dalam kenyataan tidak demikian.
Lalu dia pun mampir di kantor Bupati Flores Timur. Di sana dia bertemu dengan Wakil Bupati Flores Timur. Dia mau menyampaikan usul agar kepala desa terplih untuk Lewoingu dilantik, dengan alasan masyarakat Lewoingu mendukung pelantikan. Di situ dia tak pernah bicara soal rekonsiliasi bagi masyarakat Eputobi, karena memang bukan itu tujuannya. Waktu itu dia ingin memainkan peran sebagai seorang pelobi bagi kubu pemerintah desa Lewoingu. Lobi ke kantor Bupati Flores Timur dia lakukan sebagai salah satu cara untuk mengimbangi lobi-lobi tingkat tinggi yang dilakukan oleh kubu oposisi Lewoingu.
Kiranya jelas bahwa yang dijalankannya waktu itu adalah misi rekonsiliasi semu, sesemu ucapan yang mengatakan bahwa terjadi pertentangan antara suku Ata Maran-Lewolein dengan suku Lamatukan.
Adakah orang yang mau percaya akan yang semu semacam itu? ***