Selamat Hari Natal
Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud.
Mari, bersama paduan suara para malaikat kita memuji Allah:
Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi
dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepadaNya.
SELAMAT HARI NATAL 2011
Waktu dan Arti Perubahan
Menjelang pergantian tahun, seperti yang baru saja kita alami, kita, manusia, menyadari secara lebih intensif adanya gerak dan getar waktu, dan serentak kita juga menyadari bahwa hidup kita di dunia ini ditandai dengan perubahan yang tiada henti. Waktu berlalu detak demi detak, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, pekan demi pekan, bulan demi bulan, tahun demi tahun. Karena adanya waktu, maka apa pun yang terdapat di dunia dan alam semesta ini terkena gerak perubahan. Tetapi hanya manusia yang menyadari adanya gerak perubahan itu. Dan hanya manusia pula yang tahu arti perubahan bagi kehidupannya di dunia dan di alam semesta ini. Manusia adalah makhluk yang tahu arti waktu bagi kehidupannya di alam semesta ini.
Karena sadar akan arti waktu dan perubahan, maka manusia pun mampu mengelola waktu dan mensiasati perubahan agar sesuai dengan tujuan hidupnya. Berkat akal budinya, manusia mampu mengorganisir waktu dan merancang gerak perubahan ke arah apa yang ingin dicapainya. Hanya dalam dinamika waktu, manusia melakukan berbagai aktivitas guna menempa dirinya dan masyarakatnya, juga bangsa dan negaranya. Dengan cara itu, manusia menentukan sejarah hidup pribadinya, sejarah masyarakat, bangsa, negara, dan sejarah dunianya. Dengan cara itu manusia membudayakan waktu alamiah. Berkat kecerdasannya, manusia mampu mengangkat waktu alamiah ke taraf waktu kultural, yaitu waktu yang ditempa oleh manusia.
Kulturalisasi waktu berjalan dengan cara yang berbeda dari individu yang satu ke individu yang lain, dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain. Ini tergantung dari tinggi rendahnya kesadaran masing‐masing akan arti waktu dan perubahan. Orang yang lemah kesadarannya akan arti waktu dan perubahan banyak membuang waktu. Gerak hidup orang semacam ini lebih banyak ditentukan oleh waktu alamiah. Orang semacam ini memfokuskan perhatian pada aktivitas‐aktivitas rutin guna mempertahankan kelangsungan hidupnya di dunia ini. Aktivitas‐aktivitasnya diarahkan lebih pada sekedar memenuhi kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan. Di luar aktivitas‐aktivitas rutin, waktu dibiarkan berlalu begitu saja.
Orang yang memiliki kesadaran yang tinggi akan arti waktu dan perubahan mampu memanfaatkan waktu secara efektif dan efisien baik untuk memenuhi kebutuhannya akan sandang, pangan, dan papan, maupun untuk memenuhi kebutuhannya yang lain. Tetapi dalam rangka memenuhi kebutuhan‐kebutuhannya itu dia pun bisa memanfaatkan waktu dengan segala macam cara. Di dalam kenyataan, terdapat orang yang mampu memanfaatkan waktu yang ada dengan melakukan aktivitas‐aktivitas yang baik, yang berguna bagi pencapaian tujuan‐tujuannya yang baik. Seorang pelajar yang mau berhasil dalam studinya, misalnya, memanfaatkan waktu yang ada untuk belajar secara sistematis dan teratur. Seorang elite politik yang baik mampu memanfaatkan waktu yang ada untuk melakukan karya‐karya nyata demi kebaikan dan kesejahteraan rakyatnya. Elite politik tipe ini senantiasa berusaha menjauhkan diri dari kolusi, korupsi, dan nepotisme. Tetapi seorang elite politik nakal mampu memanfaatkan waktu yang ada untuk melakukan korupsi, dan kejahatan‐kejahatan lainnya sesuai dengan seleranya. Bahkan dia pun mampu memanfaatkan waktu yang ada untuk berlindung di balik keelitannya agar dirinya tidak terjerat hukum.
Orang yang menjadikan uang sebagai tujuan pencarian dalam hidupnya menganggap waktu sebagai uang. Baginya time is money. Karena itu dengan segala daya, dia pun berusaha memanfaatkan waktu yang ada untuk mencari uang. Para pebisnis kontemporer tidak hanya menjadikan waktu sebagai sarana untuk mencari uang. Mereka juga menjadikan waktu sebagai komoditas yang diperdagangkan. Seorang pengusaha besar perlu mengeluarkan banyak uang untuk membeli jam tayang televisi agar produk yang dihasilkan perusahaannya dapat dipasarkan dan dibeli oleh para konsumen yang membutuhkannya.
Waktu sebagai komoditas pun berlaku dalam area politik. Untuk memasarkan diri dan program‐programnya, calon presiden dan calon wakil presiden mengeluarkan miliaran rupiah untuk membeli jam tayang di televisi dan media lainnya. Hal ini pun dilakukan oleh para calon anggota legislatif berkantong tebal. Para elite politik yang memprioritaskan citra diri ketimbang karya nyata bagi kebaikan dan kesejahteraan rakyatnya sibuk memanfaatkan waktu untuk politik pendandanan diri. Untuk itu mereka bersedia mengeluarkan banyak uang untuk memasarkan diri.
Para aparatur penegak hukum, yang baik, mampu memanfaatkan waktu untuk menegakkan kebenaran dan keadilan bagi mereka yang membutuhkannya. Tetapi seorang aparat penegak hukum, yang tergolong nakal, tak lupa memanfaatkan waktu yang ada untuk menjual perkara‐perkara tertentu yang dipandang mahal harganya. Seandainya perkara yang bersangkutan pun terpaksa diproses karena tekanan publik, prosesnya pun sengaja dikaburkan sehingga menjadi tidak jelas nasibnya. Dalam kasus semacam itu, waktu sengaja dibiarkan berlalu tanpa diisi dengan tindakan‐tindakan hukum nyata untuk menegakkan kebenaran dan keadilan bagi orang atau pihak yang membutuhkannya.
Lantas bagaimana seorang religius memandang dan memanfaatkan waktu? Bagi seorang religius, waktu adalah suatu proses kehidupan yang akan berpuncak pada perjumpaan dari muka ke muka dengan Tuhannya. Dalam dan melalui waktu, dia mengalami perubahan rohani jasmani hingga mencapai kepenuhannya di akhir zaman. Proses itu ditandai dengan momen jatuh dan bangun, kegagalan dan keberhasilan, kesedihan dan kegembiaraan, penderitaan dan kebahagiaan yang secara konsisten terarah pada Kebaikan Abadi atau Kebahagiaan Abadi di akhir zaman. Di situ keluhuran martabatnya sebagai manusia dipenuhi oleh Penciptanya.
Selaras dengan tujuan itu, manusia religius memanfaatkan waktu yang ada sebagai pergumulan yang menyelamatkannya dari belenggu maut dan dosa. Pergumulan itu tak terelakkan, karena dia hidup dalam dunia berwaktu yang ditandai pula dengan segala macam kekuatan jahat yang mengancam keselamatannya. Manusia religius menyadari bahwa di dunia ini terdapat waktu yang ternoda oleh kekuatan‐kekuatan jahat. Karena itu dia pun perlu menempa waktu sakral agar tercipta gerak perubahan ke arah realisasi kehidupan spiritual yang tak terpengaruh oleh kekuatan‐kekuatan jahat. Melalui ritus‐ritus keagamaan, manusia religius berusaha menyucikan diri dan waktu duniawi. Manusia religius menyadari ini sebagai panggilan hidupnya di dunia dan di alam semesta ini.
Melalui karya‐karya nyata yang berpedoman pada Cinta atau Kasih Ilahi, manusia religius berusaha ikut serta dalam proses penciptaan Dunia Baru seperti yang dikehendaki Sang Pencipta. Proses itu sedang terjadi melalui getar dan gerak waktu duniawi ini. Perubahan yang berarti adalah perubahan yang secara konsisten mengarah pada Kebaikan Abadi, atau pada Kebahagiaan Abadi di seberang ruang dan waktu duniawi ini. ***
Selamat Pesta Paskah
Warta kebangkitan Yesus itu disampaikan oleh dua orang (malaikat) yang memakai pakaian berkilau-kilauan kepada beberapa perempuan Galilea yang pada pagi-pagi hari Sabat itu pergi ke kubur Yesus. Ya, Yesus sudah bangkit dari kematian. Melalui sengsara dan wafatNya di kayu salib, Yesus mengalahkan dosa dan maut. Dan cahaya kebangkitanNya kini menerangi hati orang-orang yang percaya kepadaNya.
Selamat Pesta Paskah untuk anda semua yang merayakan kemenangan Kristus atas dosa dan maut itu. Mari kenakan pakaian kehidupan, bukan pakaian kematian.
Selamat Hari Natal
"Kemuliaan bagi Allah di tempat yang maha tinggi, dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepadaNya."
Dan bersama para gembala yang menjumpaiNya di Betlehem kita memuji dan memuliakan Allah, karena segala sesuatu yang mereka dengar dan lihat, semuanya sesuai dengan apa yang dikatakan Malaikat Tuhan kepada mereka.
Selamat Hari Natal kepada anda semua yang merayakannya. Semoga Salam Natal dariku ini menjumpai anda semua dalam keadaan damai sejahtera adanya.
Jejak Portugis di Lewoingu, Flores Timur
Prasasti itu bertahunkan 1699. Di Lewoingu terdapat dua Prasasti berbahasa Portugis. Tetapi Prasasti yang satu lagi sudah tertimbun tanah. ***
Pada Suatu Hari di Lewolaga-Lewoingu
Pada suatu hari di bulan Agustus 2008, seusai kerja bakti, beberapa orang tua dan beberapa anak Lewolaga berpose sejenak di depan Pos Yandu yang baru saja dibangun. Pos Yandu itu terletak di seberang Puskesmas. Dengan menggunakan bahan-bahan berupa kayu, bambu, dan alang-alang, mereka mendirikan suatu bangunan kecil dan sangat sederhana, yang difungsikan sebagai tempat perawatan kesehatan bayi.
Pembangunan Pos Yandu itu tentu didasari pada kesadaran tentang pentingnya perawatan kesehatan bayi. Jika program ini berjalan dengan baik, di Lewoingu, khususnya di Lewolaga, akan tumbuh dan berkembang generasi muda yang lebih sehat dan lebih cerdas.
Jika berbagai potensi dan sumberdaya yang ada di Lewolaga dikelola dengan baik, Lewolaga dapat menjadi contoh pembangunan bagi desa-desa lain di kawasan Lewoingu. Untuk itu kerjasama dari berbagai komponen sosial di Lewolaga perlu ditingkatkan ke taraf yang lebih mantap. Upaya kepala desa Lewolaga, Bapak Nus Ata Maran untuk membina kerjasama yang baik dengan gereja dan para pemuka adat merupakan salah satu modal yang kuat untuk memajukan dan mensejahterakan masyarakat Lewolaga. ***
Dua Pengrajin Tenun Ikat dari Riang Duli-Lewoingu
Ini penampilan dua pengrajin tenun ikat dari Riang Duli, desa Dung Tana-Lewoingu. Sebelah kiri adalah ibu Bakang Hayon, yang kini sudah almarhumah. Sebelah kanan adalah Ibu Babu Kelen. Sarung yang mereka kenakan adalah hasil karya mereka masing-masing. Di Lewoingu, sarung semacam ini disebut Kewate Meang (Sarung Merah). Untuk menghasilkan warna merah pada sarung, mereka menggunakan kulit akar mangkudu.
Selain untuk dipakai sendiri, tenun ikat hasil karya mereka pun dapat dijual. Jika ditekuni dan dikembangkan, kerajinan tenun ikat dapat menjadi salah satu sumber penghasilan yang cukup besar bagi mereka yang membuatnya. ***
Anak-anak Riang Kung-Lewoingu
Sepulang sekolah anak-anak ini berpose sejenak di jalan masuk Riang Kung. Mereka adalah sebagian dari anak-anak yang menjadi penentu masa depan Riang Kung dan desa Dung Tana-Lewoingu. Sebagai anak-anak, mereka lalui hari-hari mereka dengan penuh keceriaan. Mereka tumbuh dan berkembang di suatu kampung yang masih kental dengan suasana kekeluargaan, dalam relasi-relasi sosial yang harmonis. Di situ kesederhanaan hidup sehari-hari menyatu dengan harmoni alam. ***
Riang Kung: Kampung Ata Maran
Di Lewoingu, Flores Timur anggota-anggota suku Ata Maran tinggal di Eputobi, Riang Duli, Riang Kung, dan di Lewolaga. Lalu ada juga yang tinggal di Bokang. Kepala suku Ata Maran, Gregorius Gena Ata Maran, tinggal di Riang Kung, desa Dung Tana-Lewoingu. Usianya kini mendekati kepala delapan. Tetapi beliau masih sanggup bekerja di ladang dan melakukan aktivitas-aktivitas lainnya sebagai petani. Dari tradisi adat, bapak Gena Ata Maran adalah pemimpin tertinggi Lewowerang-Lewoingu. Anda dapat melihat sosoknya dalam gambar di kolom ini. Dalam gambar itu, kepala suku Ata Maran bersama isterinya berpose di muka rumahnya di Riang Kung.
Riang Kung adalah suatu kampung kecil dengan mayoritas penduduknya adalah anggota-anggota suku Ata Maran. Mereka tinggal di tanah milik suku Lewolein yang juga disebut Lewoema. Suku Lewolein, Doweng One'eng, dan suku Ata Maran adalah keturunan Gresituli, pendiri Lewoingu. Menurut tradisi adat, tiga suku ini menjadi pemimpin tertinggi adat di Lewoingu. Mereka juga dikenal sebagai tuan tanah. Tidak ada suku lain di Lewoingu yang memiliki tanah lebih luas daripada tanah yang dimiliki oleh ketiga suku tersebut. Tanah ladang mereka menghampar di berbagai tempat di seluruh kawasan Lewoingu.
Suku Ata Maran, misalnya, memiliki tanah di kawasan barat Lewoingu hingga puncak Sureng, Sureng adalah nama gunung yang terletak di daerah utara dalam deretan pegunungan yang berjajar dari daerah Palue di selatan. Jajaran pegunungan itu tampak jelas dari kampung Eputobi. Ketika tiba musim buka ladang di Sureng, penduduk Riang Kung pun akan beramai-ramai ke sana untuk menggarapnya. ***
Jalan menuju Riang Duli, Desa Dung Tana-Lewoingu di Flores Timur
Di suatu pagi hari yang cerah, dua anggota suku ata maran dari kampung Eputobi di Flores Timur berpose sejenak untuk mengabadikan indahnya pagi hari itu. Dari bukit di belakang rumah keluarga ata maran, mereka menuju Riang Duli, desa Dung Tana-Lewoingu. Desa Dung Tana-Lewoingu yang terdiri dari dua riang (dua subkampung, yaitu Riang Duli dan Riang Kung) terletak di lembah yang dingin. Di dua riang itu bermukim anak cucu keturunan Gresituli, pendiri Lewoingu. Di situ mereka hidup bersama suku-suku yang sejak masa awal pembentukan Lewoingu sudah sepakat untuk membangun kehidupan bersama Gresituli dan anak-anaknya.
Kata "duli" berarti kebun. Kata Riang Duli berarti Kampung Kebun. Sebagai riang, mulanya kampung itu terdiri dari satu dua rumah. Sebelum menjadi kampung, di situ terdapat kebun-kebun garapan masyarakat Dung Tana yang tinggal di puncak ile hinga. Tak jauh dari Riang Duli terdapat suatu tempat bernama Tubung. Tubung adalah nama seorang manusia yang berbulu panjang. Dia tinggal di salah satu gua yang terletak di salah satu sisi dari ile hinga. Dalam suatu perkelahian melawan Doweng dan Dalu, Tubung dikalahkan. Dalam perkelahian itulah Doweng dan Dalu bertukar nama untuk mengecoh Tubung.
Di dekat Riang Duli juga terdapat Wairewo. Di masa lalu, Wairewo sempat memainkan peranan sangat vital bagi kehidupan masyarakat Riang Duli dan Eputobi, karena di situ terdapat sumber air. Dulu di antara Riang Duli dan Wairewo terdapat hutan jambu, sumber vitamin dosis tinggi bagi penduduk Riang Duli dan Eputobi, yang sekaligus menjadi obat antidemam berdarah. Jika masyarakat setempat mau, pembudidayaan jambu (gejawa) perlu digalakkan juga. Buahnya yang matang dapat dijadikan jus yang lesat dan berguna bagi kesehatan, daunnya yang masih muda berguna sebagai obat antidiare, batangnya yang sudah tua dapat dijadikan gagang parang, pisau, dan dapat juga diolah untuk keperluan lain-lain yang bernilai jual. Dan kayunya yang sudah kering tentu saja dapat dijadikan kayu bakar untuk keperluan memasak.
Di sekitar hutan jambu itu pun terdapat tanah putih, hasil proses pembentukan lapisan-lapisan bumi sekian juta tahun lalu. Tanah putih itu berasal dari laut, yang karena terjadi pergeseran lapisan-lapisan bumi kemudian tersembur ke permukaan lalu terdampar di situ.
Lalu di Riang Duli pun terdapat pemakaman umum bagi warga kampung Eputobi. Tanah yang dijadikan pemakaman itu milik suku Lewolein (Lewoema), yang diizinkan untuk dijadikan tempat pemakaman sejak Petrus Nuba Ata Maran meninggal dunia. Jadi orang pertama yang dimakamkan di situ adalah Petrus Nuba Ata Maran, ayah dari almarhum Bernardus Sani Ata Maran.
Di pinggir makam itu terbentang lapangan sepak bola. Di situ turnamen sepak bola dalam rangka pesta emas Pak Theo Tukan sebagai guru, pada tahun 2008, digelar. Seluruh administrasi kegiatan turnamen tersebut difasilitasi oleh pemerintah Desa Dung Tana-Lewoingu, bukan oleh pemerintah desa Lewoingu di Eputobi.
Dung Tana-Lewoingu adalah sebuah desa baru yang sedang sibuk mengembangkan diri. Sebuah gereja sudah dan sedang dibangun di situ. Sekolahnya pun sedang berkembang. Dengan penuh semangat anak-anak Riang Duli dan Riang Kung belajar di sekolah (TK dan SD) di desa itu.
Jika tak ada aral melintang, maka dari Riang Duli itulah masa depan Lewoingu akan ditentukan. ***